Pak Purbaya Tolong Jangan Lupakan Desa dan Perempuan


Anaya Rahma_Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa baru saja menyalurkan dana likuiditas Rp200 triliun kepada lima bank milik negara (Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI). Dana ini diambil dari kas pemerintah di Bank Indonesia, dengan bunga 4% per bulan, untuk mendorong kredit produktif. Dana ini bisa menjadi alat untuk meningkatkan CASA (Current Account Saving Account) memperbaiki kinerja keuangan, dan membuka ruang inovasi produk pembiayaan baru yang mana dapat menekan biaya dana bank, menjaga likuiditas, dan meningkatkan profitabilitas. Dari segi ekonomi makro, tujuannya jelas: menggerakkan ekonomi Indonesia supaya visi Presiden agar pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tercapai.

Lalu bagaimana agar dana sebesar ini benar-benar  menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan?

Datanya jelas, Tiga dari lima orang Indonesia tinggal di desa (Women's World Banking, 2024). Lebih parah lagi, 67% penduduk di kawasan Timur Indonesia belum memiliki akses perbankan formal  (Women's World Banking, 2024). Orang dewasa di pedesaan pun 10% lebih kecil kemungkinannya memiliki rekening dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan (Women's World Banking, 2024). Dengan realitas seperti ini, menyalurkan dana hanya melalui bank Himbara jelas tidak cukup.

Bank-bank besar cenderung beroperasi di kota dan pusat ekonomi, sementara jaringan mereka di pedesaan masih terbatas. Artinya, masyarakat yang paling membutuhkan dorongan likuiditas justru berpotensi kembali terpinggirkan. Padahal, mereka bukan hanya konsumen pasif, tetapi pelaku ekonomi aktif. Perempuan desa, misalnya, telah lama menjadi motor ekonomi keluarga melalui usaha kecil, pertanian, atau perdagangan informal. Sayangnya, akses mereka ke kredit formal sangat terbatas.

Di sinilah urgensinya. Jika pemerintah sungguh ingin kebijakan Rp200 triliun ini berdampak luas, pemerataan akses menjadi syarat mutlak. Salah satu opsi yang menarik seperti, Pemerintah perlu berkolaborasi dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Berbeda dengan Himbara, BPD memiliki jaringan hingga tingkat kecamatan bahkan desa. Artinya, mereka jauh lebih dekat dengan masyarakat yang selama ini tidak tersentuh layanan perbankan nasional.

Namun, kolaborasi ini juga harus dilakukan secara hati-hati. Memberikan likuiditas dalam jumlah besar kepada BPD tanpa mekanisme yang jelas, bisa berisiko. Menurut Komisaris Bank Maluku Malut, Nadjib Bachmid, kelebihan likuiditas beresiko menjadi beban, bahkan merugikan keuangan bank namun berpotensi untuk meningkatkan CASA yang ujung-ujungnya meningkatkan stabilitas dan efisiensi bank. Karena itu, menurut  Novi Venthe Kaligis, Komisaris Independen Bank Sulteng, solusi yang paling rasional adalah skema stand-by loan. Melalui mekanisme ini, dana selalu tersedia siap digunakan, tetapi pencairan dilakukan bertahap sesuai kebutuhan bank. Dengan demikian, dana tidak akan menganggur, dan bank terhindar dari risiko kelebihan likuiditas.

Pemerintah sudah mengambil langkah besar dengan membuka keran likuiditas. Kini langkah berikutnya adalah memastikan aliran dana benar-benar sampai ke desa, sampai ke perempuan, sampai ke mereka yang selama ini terpinggirkan.

Hanya dengan begitu, Rp200 triliun ini akan tercatat sebagai kebijakan yang bukan hanya menyelamatkan bank, tetapi juga menggerakkan bangsa.


Share on Google Plus

About IMAN AMAL SABAR TAWAKAL

Website ini didedikasikan untuk media belajar tentang keadilan hukum.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment