Anayarahma_Selama ini, ketika kita membicarakan solusi krisis iklim, fokusnya hampir selalu pada karbon: pengurangan emisi, net zero, dan perdagangan karbon (carbon trading). Namun, ada satu aspek penting yang sering terlupakan seperti kerusakan hutan, punahnya spesies langka, dan rusaknya ekosistem pesisir adalah bagian dari krisis iklim. Permasalahan ini belum mendapat tempat dalam sistem insentif global. Padahal, tanpa alam dan perlindungan flora dan fauna di dalamnya semua target iklim akan goyah.
Saat ini, dunia mulai mengembangkan Voluntary Biodiversity Credit (VBC). Konsep ini sederhana namun kuat: memberi insentif kepada perusahaan atau organisasi yang benar-benar mengambil aksi untuk melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati. Bukan hanya menebus dosa, tetapi melakukan sesuatu yang nyata.
Bukan Sekadar Offset
Skema offset karbon sering dikritik sebagai greenwashing karena sekadar menjadi pembenaran untuk tetap mencemari, selama emisinya “dikompensasi” di tempat lain. VBC menawarkan pendekatan yang berbeda. Ia menekankan additionality—aksi tambahan yang tidak akan terjadi tanpa insentif.
Artinya, jika sebuah perusahaan merehabilitasi hutan yang terancam, menciptakan habitat baru untuk spesies langka, atau melakukan restorasi mangrove di pesisir, maka aksi tersebut bisa dinilai, diverifikasi, dan diberi “kredit”. Kredit ini bisa diperdagangkan sebagaimana kredit karbon, ujungnya memunculkan insentif ekonomi bagi perusahaan yang ingin mendukung konservasi sebagai bagian dari tanggung jawab lingkungan mereka (IMD, 2023).
Beberapa negara sudah mulai menjajaki ini. Di Sweden (Funds Europe, 2023) dan Australia (https://www.dcceew.gov.au, 2025), uji coba proyek VBC mulai diperkenalkan. Uni Eropa juga mulai melirik integrasi ke dalam kebijakan lingkungannya. Buku panduan dari IMD (International Institute for Management Development) yang terbit pada 2023 menjadi salah satu fondasi awal pemikiran ini.
Indonesia adalah negara dengan salah satu kekayaan hayati terbesar di dunia. Kita punya hutan hujan tropis yang luas, garis pantai ribuan kilometer, dan ribuan spesies endemik. Ironisnya, kita juga termasuk negara dengan tingkat kerusakan ekosistem tertinggi, terutama di wilayah pesisir dan hutan.
Dalam konteks ini, Indonesia sebenarnya berada di posisi yang sangat strategis untuk mengembangkan sistem biodiversity credit. Banyak sektor industri di Indonesia yang bisa berkontribusi: dari agribisnis, konstruksi, kehutanan, energi terbarukan, hingga sektor keuangan. Jika mereka ikut dalam gerakan ini, penulis meyakini mereka akan makin giat mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, Governance).
Namun, hingga kini, belum ada kerangka regulasi, pedoman teknis, apalagi pasar VBC yang jelas di Indonesia. Padahal, peluangnya sangat besar. Jika sistem ini dikembangkan, maka akan muncul ekosistem baru—di mana perlindungan alam bukan hanya beban, tapi investasi.
Salah satu tantangan utama dari VBC, seperti halnya carbon credit, adalah bagaimana mengukur dan memverifikasi dampaknya. Kita butuh sistem yang transparan dan kredibel agar kredit yang diterbitkan benar-benar mencerminkan aksi nyata di lapangan. Namun sampai saat ini, belum ada standar internasional tunggal untuk VBC, seperti Verra pada karbon. Good news, proses ke arah sana sudah berjalan. Beberapa NGO lingkungan, lembaga akademik, dan organisasi internasional mulai mengembangkan metodologi pengukuran dan sistem verifikasi berbasis sains. Kita punya banyak universitas, lembaga riset, dan organisasi konservasi yang berpengalaman. Jika pemerintah mampu memfasilitasi dan mempertemukan mereka dengan sektor swasta, bukan tidak mungkin kita bisa membangun standar lokal yang kuat, bahkan menjadi model bagi negara lain.
Indonesia bisa mengambil peran penting di sini. Pemerintah Indonesia saat ini tengah mendorong investasi hijau dan transisi energi. Voluntary Biodiversity Credit bisa menjadi pelengkap yang sangat penting. Ia tidak bertentangan dengan carbon trading, tetapi justru memperkaya pendekatan kita dalam menyelamatkan alam Indonesia. Terlebih, VBC punya dimensi sosial yang kuat karena banyak proyek konservasi yang juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat lokal. Jadi kapan Indonesia bergerak?
0 comments:
Post a Comment