Hasil Kolaborasi dengan Fil Ilmi Tasari
Tabaruj merupakan salah satu istilah dalam Al-Qur’an yang kerap dikaitkan dengan larangan berhias atau menampakkan kecantikan secara berlebihan, khususnya bagi perempuan. Dalam khazanah tafsir klasik, istilah ini sering diartikan sebagai bentuk perilaku atau penampilan yang bisa membangkitkan syahwat atau mengundang perhatian lawan jenis. Namun, pemaknaan ini ternyata sangat beragam, tergantung pada konteks waktu, budaya, serta pendekatan para mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Tulisan ini merupakan hasil pengembangan dari tesis yang ditulis oleh Fil Ilmi Tasari, berjudul Layout Kontekstualisasi Makna Tabaruj dalam Al-Qur’an, yang kemudian kami lanjutkan bersama dengan semangat untuk melihat kembali konsep tabaruj dalam konteks kekinian.
Keragaman Tafsir: Antara Klasik dan Kontemporer
Dalam literatur tafsir klasik, seperti yang dijelaskan oleh Sheikh Abul A‘la Al-Maududi, tabaruj berarti menampakkan kecantikan wajah dan bagian tubuh lainnya yang dapat membangkitkan syahwat di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Ia juga memasukkan tindakan seperti berdandan, mengenakan perhiasan, serta berjalan genit di ruang publik sebagai bagian dari tabaruj. Dengan pendekatan semacam ini, berbagai ekspresi perempuan di ruang publik — mulai dari menari, bernyanyi, hingga tampil di media sosial — bisa masuk dalam kategori tabaruj dan dinilai sebagai perilaku yang tercela.
Namun, pendekatan kontemporer menawarkan nuansa yang berbeda. Wahbah Zuhaili mendefinisikan bahwa tabaruj adalah perilaku perempuan yang memperlihatkan bagian tubuhnya kepada laki-laki dengan tujuan ajakan kemaksiatan. M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah memberikan penekanan pada konteks sosial dan budaya yang melatarbelakangi ayat-ayat tersebut. Menurut beliau, tabaruj bukan sekadar penampilan fisik, tetapi berkaitan dengan niat, situasi sosial, serta dampak dari perilaku tersebut terhadap masyarakat. Beliau lebih menekankan pada dampak dan batasan, yang mana baru disebut tabaruj ketika sesuatu yang dipakai dan ditampakkan menyebabkan gangguan seperti pelecehan dan kejahatan lainnya. Pendekatan ini lebih cair dan mempertimbangkan dinamika zaman, termasuk perubahan peran perempuan dalam ruang publik.
Surah Al-Ahzab: Antara Teks dan Konteks
Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan dalam membahas tabaruj adalah Surah Al-Ahzab ayat 33:
“Dan tetaplah kamu di rumahmu, dan janganlah berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.”
Ayat ini menarik karena menyandingkan larangan tabaruj dengan anjuran untuk tetap berada di rumah. Ini kemudian menjadi dasar bagi sebagian budaya Muslim, terutama di Timur Tengah, dalam membatasi aktivitas perempuan di ruang publik. Saat penulis berkunjung ke Arab Saudi untuk umrah, pemandangan seperti perempuan mengenakan niqab dan minimnya kehadiran mereka di ruang publik menjadi pengingat kuat tentang bagaimana ayat ini dihidupkan dalam praktik budaya.
Namun jika ditelusuri lebih dalam, ayat ini merupakan bagian dari wahyu Madaniyah — diturunkan pada masa Rasulullah di Madinah, menjelang terjadinya Perang Khandaq. Dalam konteks tersebut, perintah untuk "tetap di rumah" bisa jadi merupakan langkah preventif demi menjaga keamanan kaum perempuan karena kondisi kota yang sedang terancam perang dan para laki-laki saat itu tengah dikerahkan untuk bertempur. Sangat wajar apabila dalam situasi perang, sebagai bentuk penyelamatan, seseorang dianjurkan untuk tetap berada di tempat yang aman. Namun, perintah tersebut tentu akan menyesuaikan ketika kondisi sudah kembali normal, seperti saat ini, di mana perempuan dapat mengekspresikan ibadahnya melalui berbagai peran sosial, termasuk bekerja dan berkontribusi dalam membangun masyarakat di berbagai sektor. Dengan demikian, konteks sosial dan politik sangat berpengaruh terhadap perintah tersebut.
Lagi pula frasa perintah untuk berdiam di rumah jika ditafsirkan tanpa konteks bertentangan dengan perintah Al-Mulk (67:15).
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
Sebagai catatan, tidak banyak ulama tafsir yang menghubungkan tafsir Al-Ahzab 33 dengan konteks kegentingan kondisi Madinah, beberapa menganggap ayat ini adalah panduan hidup umum.
Mendekati Tafsir dengan Kritis dan Kontekstual
Melalui studi ini, kami menemukan bahwa tafsir klasik cenderung memaknai tabaruj sebagai bentuk perilaku yang harus dihindari secara mutlak. Sementara tafsir kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Quraish Shihab, membuka ruang toleransi dan pendekatan yang lebih adaptif. Menurut beliau, batasan tabaruj tidak dapat didefinisikan secara kaku karena bergantung pada persepsi masyarakat, perkembangan budaya, dan nilai-nilai lokal yang berlaku.
Contohnya, dalam konteks modern seperti media sosial, apakah setiap perempuan yang menari atau menyanyi di TikTok otomatis melakukan tabaruj? Bagi sebagian orang mungkin iya, namun bagi yang lain bisa jadi itu adalah bentuk ekspresi diri, seni, atau bahkan dakwah. Perbedaan ini mencerminkan kompleksitas dalam memahami istilah tabaruj.
Namun kami meyakini bahwa tidak mungkin Allah hendak menyulitkan, apalagi mematikan potensi perempuan untuk berkarya dan berkontribusi di tengah masyarakat. Dalam prinsip ini, penulis yakin seluruh ulama memiliki kesepahaman yang sama. Oleh karenanya, penulis lebih cenderung pada pandangan Quraish Shihab yang tidak memperdebatkan bentuk aktivitas lahiriahnya, tetapi lebih menyoroti dampak sosial dan moral dari suatu tindakan.
Hingga kini, penulis tetap meyakini bahwa ekspresi seni seperti tutorial make up, menari atau tampil di ruang publik tidak dapat serta-merta dapat dikategorikan sebagai tabaruj. Namun sebagai catatan, masing-masing individu harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral untuk menilai sejauh mana batas gerakan atau ekspresi yang masih berada dalam ranah seni, serta kapan hal tersebut mulai berpotensi keluar batas dan berdampak negatif bagi dirinya maupun masyarakat.
Akhirnya, dalam perkara-perkara yang bersifat ijtihadi dan kontekstual seperti ini, keberagaman pandangan adalah keniscayaan. Semoga kita senantiasa diberi kebijaksanaan dalam menempatkan teks dan konteks secara proporsional, serta tidak terburu-buru menghakimi satu ekspresi dengan kacamata tunggal.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb — hanya Allah-lah yang Mahatahu kebenaran yang sejati.
0 comments:
Post a Comment