AI dalam Karya Tulis

 



Artificial Intelligence — Teknologi ini benar-benar membongkar kebiasaan lama, membentuk budaya baru, dan mempengaruhi begitu banyak sendi kehidupan tetapi dalam penggunaannya alat bantu ini selalu berkelindan dengan berbagai pertanyaan etika.

Saat ini, begitu banyak teknologi AI yang dapat membantu kita dalam menulis. Di satu sisi, AI memberikan kemudahan yang luar biasa; namun di sisi lain, muncul antitesisnya — alat-alat pendeteksi AI, algoritma yang mencoba memisahkan mana karya manusia dan mana karya mesin. Lalu muncul pertanyaan: jika pada tulisan saya terdeteksi ada unsur  AI pada mesin pendeteksi tersebut  meski sedikit, apakah berarti kredibilitas dan integritas tulisan saya jadi diragukan? apakah fakta yang saya tulis, menjadi kebohongan? Apakah nilai tulisan saya menurun hanya karena saya memakai AI? Apakah tulisan saya lantas dianggap palsu atau menipu?

Heii… bukankah AI memang diciptakan untuk mempermudah manusia? Namun, anehnya, ketika tugas penulisan menjadi lebih mudah karena bantuan AI, justru muncul sentimen negatif dan pandangan sinis:

“Ooh, kamu pakai AI…”

 (dengan mata menyipit dan nada merendahkan).

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuat saya bingung, seolah-olah saya tertangkap basah berbuat curang ketika saya menggunakan AI dalam proses menulis saya. Seakan-akan, agar aman, saya harus menyembunyikan fakta tersebut,  saya harus mengedit berulang kali tulisan saya, yang mana sering kali meskipun saya tulis manual, alat pendeteksi tersebut tidak jarang tetap mendeteksinya sebagai karya AI? Apakah saya harus berpura-pura mengumpulkan data, menganalisa, mengatakan seluruh tahapan menulis semuanya secara manual ?

Maka, artikel ini saya tulis sebagai ajang curhat. Juga agar ketika ada yang bertanya tentang hal ini, saya cukup kirim tautan ke artikel ini saja. Maka melalui tulisan ini, saya mendeklarasikan: ya, saya meng-embrace penggunaan AI dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam proses menulis.

Saya tahu, apa pun yang saya lakukan akan tetap ada yang nyinyir. Tapi ijinkan saya menjelaskan bagaimana saya menggunakan AI dalam proses penulisan berbagai karya tulis .

AI Sebagai Asisten Peneliti

AI sangat berguna untuk “mengumpulkan” informasi. Misalnya, ketika saya meneliti hukum masyarakat adat di Indonesia — sebuah isu yang diatur oleh peraturan perundangan yang sangat kompleks: mulai dari konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri. Belum lagi regulasi internasional, perjanjian antarnegara, dan berbagai dokumen lainnya  yang semuanya harus ditelusuri, karena mana tau jikapun secara judul tidak relevan, ada hak-hak masyarakat adat diatur di dalamnya.

Lalu apakah untuk menganalisanya harus dibaca semuanya satu per satu? ya, harus, dan dulu, saya melakukannya dengan cara tradisional — dan itu memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Tapi tidak dengan sekarang, saya bisa melakukan seluruh tahapannya jauh lebih cepat dengan bantuan AI. Saya meminta AI mengumpulkan daftar regulasi yang relevan, mencari tautan resmi dari sumber pemerintah, bahkan mengklasifikasikan temuan tersebut. Misalnya dengan fitur web browser di ChatGPT, saya bisa memperoleh tautan-tautan valid tanpa harus membuka situs satu per satu.

Namun tentu saja, tidak semua hasil AI relevan. Kadang ada regulasi yang sudah dicabut, tidak sesuai konteks, atau bahkan murni hasil halusinasi AI. Karena itu, pekerjaan berikutnya adalah menyaring informasi — dan jelas ini tidak mudah. Tapi justru bagian inilah yang saya nikmati: proses mengumpulkan, memilih, dan memverifikasi. Dalam hal ini, biasanya, saya meminta AI menyebutkan rujukan sumber atau halaman asli dari peraturan yang dikutip. Dengan begitu, saya bisa membaca langsung dan menilai akurasinya. Di titik ini, AI tidak menggantikan nalar manusia — saya tetap memegang kendali penuh atas analisis saya.

AI Sebagai Mitra Penulis

Salah satu fitur favorit saya pada Chat GPT adalah dictation. Fitur ini memungkinkan saya merekam pembicaraan saya, lalu secara otomatis mengubahnya menjadi teks. Setelah itu, saya cukup meminta AI untuk “memoles sedikit saja”: menghindari pengulangan dan membuat tulisan lebih runtut. Dalam hitungan menit, hasilnya sudah rapi. Terlihat lebih mudah, tapi ada tambahan pekerjaan, editing, mengkritisi gagasan, memverifikasi data, bagian-bagian yang biasanya tidak saya lakukan karena biasanya ada rangkaian kata saja saya sudah senang. 

Dengan cara ini, saya bisa menulis dua hingga empat paragraf dengan sangat lebih cepat. Mengingat kecepatan berbicara jauh lebih tinggi daripada mengetik, produktivitas saya meningkat drastis. Saya sekarang senang sekali merekam ide dalam otak saya dan menuangkannya menjadi tulisan. Ide-ide gila yang terlintas jadi tidak terbuang. 

Manusia, Mesin, dan Kejujuran Baru

Jadi, kenapa harus takut mengakui bahwa saya menggunakan AI untuk membantu menulis? Ya saya menggunakan AI sebagai alat bantu dan karenanya saya memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang esensial: mengembangkan analisis, mengkritisi gagasan, dan memverifikasi data. Saya tidak lagi terjebak dengan tulisan deskriptif, karena jelas AI melakukannya jauh lebih baik. Saya jadi terpacu untuk membuat karya tulis yang lebih dari sekedar menjelaskan. Dan jelas karena ada AI,  menghasilkan karya tulis belum cukup, sepertinya para dosen dan siswa sekarang dituntut untuk memvisualisasikan pemikirannya tidak hanya dengan tulisan tapi video juga :) dan bukankah itu justru baik?

Analogi sederhananya begini: kain yang kita pakai hari ini diproduksi di pabrik dengan kecepatan tinggi, menggantikan pemintalan benang tradisional. Tapi tidak ada yang malu mengenakan baju dari kain pabrikan. Tidak ada yang menuduh itu “curang”. Kolaborasi antara mesin dan manusia justru menghasilkan karya yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih melimpah.

Saya percaya, seperti halnya teknologi lain buatan manusia, AI memiliki potensi bahaya dalam penggunaannya. Tapi justru karena itu, kita perlu belajar menggunakannya dengan bijak — untuk kebaikan, bukan kebohongan.

Dan mungkin, dengan pernyataan ini, saya tidak hanya sedang membela diri. Saya sedang menyatakan sesuatu yang lebih besar: bahwa kejujuran intelektual di era digital bukan lagi soal menolak alat bantu, melainkan soal bagaimana  menggunakannya dengan kesadaran penuh. 



* Tulisan ini diproduksi dengan bantuan AI sebagaimana dijelaskan di atas"

Share on Google Plus

About IMAN AMAL SABAR TAWAKAL

Website ini didedikasikan untuk media belajar tentang keadilan hukum.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment